Kidung Asa: Aku Pink Hanya Telur Keong Mas.

Ditulis oleh: Melky Pantur***),
Selasa (19/6/2018)

[Tulisan berikut adalah gambaran rintihan hati dari satu telor keong mas yang tengah menempel di kayu tersebut sebagaimana tampak dalam gambar berikut]

[Telur keong mas]

Aku Pink Hanya Telur Keong Mas),

Demikian jeritan hati satu butir telur dari keong mas tersebut merefleksikan ziarah hidupnya........silakan simak!

Saat aku di kandungan ibuku, aku diselimuti cangkangnya yang berwarna emas.
Ayahku tak perdulikan aku lagi kendati aku ada dalam pelukan mamaku. Ayah hanya bersahut pada ibuku: Aku mencintaimu lalu diasmarakannya tanpa tanggung jawab. Dasar ayah yang bandel. Yah, aku mendengar percakapan mereka dari dalam perut ibuku.

(Ia pun menjadi telur - dilahirkan)

Tibalah saatnya aku mengenal dunia, ayahku melepaskan aku. Ayah tak membuatkan aku sarang seperti burung apalagi ibuku yang tak berdaya. Ia hanya mengelus-elus perutnya bukan dengan tangannya tetapi insting di otak kepalanya mengharapkan di mana aku ditempatinya.


Aku tak sendirian, bersama saudara dan saudari yang lain, kami ada di dalam rahimnya.
Kami dibawa sang ibu jauh dari air. Mencari tempat yang agak tinggi, di kayu yang berdiri, di tetumbuhan. Aku pun tak tahu mengapa demikian.
Dengan susah payah, ia menaiki kayu dan tetumbuhan. Di sana ia mengeluarkan aku dari pelukannya dan menempelkannya di sisi kayu dan tetumbuhan. Beruntung aku tidak sendiri, aku bersama saudara dan saudariku yang lain.


(Ia melihat terbitnya sang surya).

Di saat fajar menyingsing, aku terkagum-kagum ada cahaya emas datang dari ufuk timur. Aku bersuka, ia menghangatkan tubuhku. Aku pun memperhatikan diriku ternyata aku pink simbol perempuan. Di saat mulai senja, aku merasa menggigil. Udara yang membawa uap air menusuk masuk ke tubuhku yang kecil dan lembek. Aku hanya merintih: Kasihan aku!

Di malam aku memperhatikan, aku merasa dingin sekali. Aku mengingat, saat masih di dalam rahim ibuku, aku merasa hangat.
Esoknya, aku terjaga dari lelapku. Betapa kagum, cahaya itu muncul lagi. Ia menghangatkan tubuhku. Dari waktu ke waktu teruslah demikian.
Hanya saja aku senantiasa mengeluh, apakah burung-burung di udara, ulat, serangga dan katak akan memangsa aku? Lebih lagi manusia yang rakus itu telah senang memangsa kelompok kami dengan mengambilnya dari sawah-sawah mereka. Aku kian takut!


(Ia kemudian menetas)

Aku pun tumbuh dan menjadi keong mas dewasa. Aku turun dari tempat di mana ibuku melahirkan aku. Aku pun turun ke lumpur mencari di mana ibuku bertapak kini. Aku tak mengenalnya karena aku tidak seperti katak. Aku menyadari, aku hanyalah hewan liar di belantara jagat. Aku hanya bisa bersedih dan merintih kesakitan.

(Seorang petani datang menggarap sawah)

Di saatku tengah bersedih, aku mendengar suara yang keras.....tet...tet..tet. Suara itu panjang dan berpindah-pindah. Aku tidak mengapa dan sedang apa. Aku tidak tahu karena suaranya semakin dekat semakin keras. Tempat di mana aku merintih pun menjadi keruh. Aku seakan-akan blank. Mataku seperti katarak saja. Aku tidak melihat apa-apa. Aku bertanya: Apa gerangan itu? Ah, mungkinkah suara mesin traktor si petani? Hal itu, dugaku, karena pernah mendengar dua orang tengah bercakap tentang traktor.
Aku pun terhempas jauh bak digulung ombak di tepi pantai yang keras. Aku semakin takut dan sedih karena alat itu.
Akhir dari keterhempasanku, aku tertidur pulas hingga aku melihat terjadi beningnya air di persekitaran.


(Keong mas jantan datang yang kemudian mengawininya)

Di saat merasa sepi, tiba-tiba ada siulan menggoda dari belakangku. Aku tertegun mendengar siulan manis bak suara dewa itu. Yah, tampak begitu menarik seluruh saraf nikmat di tubuh yang seolah-olah aku ingin melepaskan semua rasa kenikmatan keperempuananku bersama sang kekasih.
Aku menoleh ke belakang, astaga ternyata mirip sepertiku menyapa aku. Ia menyapa: Halo pink manis imut, bisa aku berada di sisimu? Aku tidak menyahut. Aku hanya bergembira, rupanya dia keong mas jantan yang mau menghampiri aku. Aku pun membalas sapannya: Iya yang, kangenku sudah di ufuk barat!
Kami pun hidup bersama selama beberapa pekan. Betapa tidak, ia telah menggodaku secara berulang-ulang. Halnya feminim, aku terkapar jatuh dalam pelukan asmaranya yang mecekik keras nan halus namun seakan membawa ke nirwana. Dia pun terus memadu kasihnya di saat-saat malam kelam. Aku menikmatinya disaksikan suara jangkrik, terang rembulan dan bintang di langit yang bersinar.

[net]

(Usai dikawinkan, ia ditinggalkan pejantannya).

Dasar jantan, demikian jengkelku. Ia meninggalkan aku setelah merenggut kegadisanku. Ia rupanya pergi dengan nona lainnya, keong mas yang ayu lainnya. Yah, jantan memang selalu saja habis manis sepah dibuang, gumanku.
Tibalah saatnya aku mual-mual. Perutku mules dan terasa aneh di tubuhku. Aku mulai ngidam aneh-aneh! Aku baru menyadari kalau aku telah mengandung.


(Ia mencari tempat untuk bertelur)

Di saat malam, aku mencari tempat yang nyaman. Aku mencari tetumbuhan, rupanya teratai tonjong di depan kelopak mataku. Aku hanya merasa, manusia dan hewan lain tidak mungkin mengganggu telurku.
Dengan napas satu-satu, aku memanjat bunga teratai tonjong.
Di suatu siang, aku mendengar perbincangan manusia. Perbincangan mereka tentang kehebatan teratai tonjong yang tidak akan diganggu manusia karena dianggap langka dan hanya ada dua tempat di dunia, di Pota, Flores, Indonesia dan India. Seseorang telah menyebut namanya Keraeng Melky Pantur. Dia bercakap dengan sesama mereka, dia bilang teratai dijaga oleh dunia dan dijadikan sebagai objek wisata pilihan internasional. Saya mendengar, sahabat yang berbincang dengannya dipanggil namanya Keraeng Otwin Wisang. Saya hanya berguman dalam kesendirianku, gulatku, apakah mereka bangsa katak? Yah, karena menyebut keraeng...keraeng! Kan itu suara yang dikeluarkan hewan katak! Katak kan berbunyi kereng....kereng...kereng. Yah, mirip keraeng gitu!

[net]

Ah, aku tidak mau bertanya banyak. Di malam, ditemani sang rembulan, aku memanjat ke batang teratai tonjong itu. Betul, aku perhatikan. Mereka, buah hatiku nyaman di situ, tepat seperti percakapan kedua orang yang konsen dengan wisata itu.

(Ia rindu pada induknya yang telah melahirkannya dan berusaha mencarinya pasca bertelur)

Aku telah bertelur, aku turun lagi ke air. Kuperhatikan alam di sekitarku, tak satu pun yang menyahutku. Aku lalu bernyanyi:

"Oh ibuku, di manakah jiwaku pajang, untuk menaruh rasa rinduku, yang selama ini berlalu daripadaku.

Kutatap angkasa dan kuperhatikan alam di sekitarku, tak satu pun menyapaku mama, tinggallah daku sedih sendiri di sini, meratap kelanaanmu mama.

Kini engkau telah lama pulang, ke pangkuan pertiwi mama. Kembalilah pada anak-anakmu di tanah lama bertapak mama

Oh..ibu, oh...mama, oh...bunda
Kini, kami semua buah hatimu merindukan belaian kasihmu,
kembalikanlah kami semua putera puterimu ke dalam rahim kasihmu

Kutatap angkasa dan kuperhatikan alam di sekitarku, tak satu pun menyapaku mama, tinggallah daku sedih sendiri di sini, meratap kelanaanmu mama.

Oh..ibu, oh...mama, oh...bunda
Kini, kami semua buah hatimu merindukan belaian kasihmu,
kembalikanlah kami semua putera puteri ke dalam rahim kasihmu". (lagu karangan Penulis).


(Kangen mantan pejantan)

Aku lalu menyingkir ke tempat yang aman dan bersih, membilas tubuhku dengan air yang jernih dan bening.
Dalam kesepianku, aku mulai kasmaran mengingat ayah dari telur-telur pink di batang teratai tonjong sana. Berbalut rasa rindu yang ingin dicumbui asmara mantan pacar sekaligus mantan sang suami, aku bersimpul sendiri hingga sekian waktu lamanya. Karena rindu, aku pun melantunkan sebuah lirik lagu: Tak Ingin Kesendiri), Dian Piesesha.

Demikian nyanyiku:

Aku masih seperti yang dulu
Menunggunmu sampai akhir hidupku
Kesetiaanku tak luntur
Hati pun rela berkorban
Demi keutuhan kau dan aku

Biarkanlah aku memiliki
Semua cinta yang ada di hatimu
Apa pun kan kuberikan
Cinta dan kerinduan
Untukmu dambaan hatiku

[Reff:]
Malam ini tak ingin aku sendiri
Kucari damai bersama bayanganmu
Hangat pelukan yang masih kurasa
Kau kasih? kau sayang?



(Ia berdendang lagi karena kagennya yang amat sangat pada si pejantan)

Saban hari, aku senantiasa gelisah. Asa rinduku kian bertepi. Kurasakan, aku tak memiliki pegangan hidup lagi. Air mataku terus mengalir, aku kembali berdendang:

Di tengah ombak dan arus pencobaan
Hampir terhilang tujuan arah hidupku
Bagaikan kapal yang selalu ombang-ambingkan
Mengharap kasih-Nya seolah olah tiada mampu

Tuhan perhatikan kehidupan tiap kami
Yang sudah rusak dibetukan
Dengan penuh kasih sayang
Tuhan perhatikan tiap tetesan air mata
Dia mengenal hatiku yang penuh penyesalan dosa

Beberapa pekan kemudian, dalam balutan kangenku, aku bertahan dalam kesepian yang amat sangat. Aku pun kembali melantunkan lagu Tuhan Perhatikan sembari memandang kuncupnya merah merona teratai tonjong di alam Pota, Flores. Lalu, tampaknya doaku dikabulkan Yang Kuasa dan rupanya pula ujud-ujudku diperhatikan-Nya.

(Sang kekasih, pejantan akhirnya bertandang kembali)

Bak bintang dapat berkata-kata, suatu yang mustahil mungkin bagiku. Di sampingku terdengar suara merdu bak nyanyian para dewa. Aku mendengar suaranya sembari mendekati aku, demikian lantunannya:

"Nona siapa itu yang pakai baju emas, muka manis bikin kacau hati e. Tiap malam, ingat-ingat dia, tiap hari rindu-rindu dia e, kepala pusing pikir terus, tak bisa tidur pikir terus, sio nona, nona baju emas".


Bak bumi diterangi rembulan, kelam sunyi sepi disinari cahaya kunang-kunang, nyanyian jangkrik dan angin sepoi-sepoi basah menarik kuncup bunga pepohonan persekitaran, aku seperti ditenteng ke singgasana cinta pertamanya kaum perjaka dan perawan di pelaminan malam awal. Denyut jantungku tak keruan sembari aku merasakan kenikmatan yang takterkatakan ingin bercumbu mesra tuk ke sekian ke sekian kalinya lagi dan lagi, terus dan terus....! Hatiku kembali bergembira. Tampaknya suamiku datang lagi.


Dia pun berkata kepadaku: Selama engkau bertelur, aku menjauh darimu karena aku, tak mau mengusikmu sebab aku, aku tak tahu bertelur. Aku pun tahu, engkau bisa sendiri lagipula tak ada puskesmas begitupun bidan, ataukah mama dukun melahirkan halnya para manusia yang dapat membantumu. Oleh Yang Empunya Kuasa, engkau tampak otomatis saja apalagi tak seperti manusia, ada poro putes dan cear cumpe - potong tali pusat dan pemberian nama secara adat. Lagipula, ada pesta pernikahan, tidak diberi popok dan sebagainya. Sekarang engkau tampak seperti gadis lagi yah, kita kini bersama memadu kasih seperti sedia kala. Marilah sayang, kupanggil engkau loke nggerang, masuklah dalam dekapanku dan bercumbulah hingga engkau semakin berbahagia, puas dan puas!


Sejak saat itu, aku berpikir, aku tak mau jauh darinya lagi dan karena itu aku ingin berbahagia bersamanya hingga maut memisahkan.

Tanyanya kepadaku lagi: Keluarga berencana model apa yang engkau inginkan nona cantik berbaju kuning? Jawabku singkat: Aku ber-KB alamiah saja lagipula tidak ada dokter yang memberi susuk atau spiral dan lagian kita berdua tak mengenal para medis halnya manusia!

Sejak saat itulah, kami berdua terus memadu kasih, bercumbu siang dan malam, fajar dan petang hingga akhir hayat. Rembulan, pelangi, surya, bintang dan alam menjadi saksi kami. Kami pun mencari hulu teratai tonjong, mencari tempat kasmaran yang paling nyaman tuk bercumbu sepanjang hayat.

Aku dan jantanku berdendang:

"Le...ta, le...ta, ta to riang, riang ramen elang ta de. O...o....riang ramen elang ta de. Le...le..so, le...le...so, sompo to riang, riang ramen elang ta de....o....o...riang ramen elang ta de...". Artinya, ayo kita bergegas ke sana, di sana kita saling menggendong, hidup bersama penuh rukun, damai dan saling menjaga!


Akhir dari cerita mereka, mereka diliputi kebahagiaan lahir dan batin.


©©©©©©©©©©

Penulis: Ini bahasa Manggarai, Flores lagipula keong mas itu ada di Pota, Nuca Lale, Flores. Foto selain net diambil oleh Penulis, Senin (18/6/2018).

[Penulis]

Comments

Popular posts from this blog

RUMUS BAHASA MANGGARAI!

Mene.

Golo Lusang Lokasi View Wisata Alam Ruteng.