Berkuda, Merawat Seni Back to Nature.

Ditulis oleh: Melky Pantur***),
Jumat (15/6/2018).


Kuda oleh orang zaman lampau kerap menggunakannya sebagai hewan dengan banyak keperluan, di antaranya: sebagai alat transportasi, untuk perang, pentas seni tari kuda, rie jarang atau joki jarang (lari kuda), membiayai belis, dan juga sebagai hewan kurban. Untuk mengendarai kuda membutuhkan keterampilan khusus dan hal itu harus dilatih sejak kecil. 


Masa sekarang, memiliki kuda merupakan bagian dari bentuk penilaian image (gambaran) diri seseorang. Tak ubahnya, memiliki sebuah sepeda motor, kuda biasa dapat dibeli dengan harga 7-8 juta per ekornya yang masih muda. Bila cukup dewasa, bisa diperkirakan harganya belasan juta rupiah per ekornya.
Bagi yang telah lazim, memelihara kuda itu gampang tetapi sebaliknya tidak. 
Dengan berkembangnya teknologi, sarana jetpack bahkan sudah mulai dikembangkan. Cukup memikul ransel jetpack, orang dengan cepat melintasi satu lembah ke lembah yang lain. Akan tetapi, seninya pasti berbeda begitupun rasa dan suasananya. Konteks sekarang, wilayah Manggarai Timur, Flores masih bermain dengan hewan pembantu beban tersebut. Asyik memang sepintas jika dilihat. 


Masa kini, bagi kalangan tertentu kuda dikategorikan sebagai hewan sakral. Tak pelak pula, tampak begitu menarik karena sudah dianggap langka, ketika mereka digunakan sebagai media penjemputan para tamu tampak begitu agung. Ketika disandingkan curu reis tuak kepok, wow semakin keren saja kelihatannya. 
Di Manggarai Timur, pada moment tertentu bahkan kuda dijadikan sebagai hewan pelengkap nikmatnya dari sebuah acara. Melihat kuda dalam rombongan kecil ataupun besar saja dalam acara tersebut sungguh merupakan pemandangan yang luar biasa.
------------
Kerling pada acara berikut:








Seni memainkan kuda mewujudkannya harus membutuhkan nyali dan keuletan yang tinggi karena ada dua jiwa yang tengah dimainkan. Berbeda dengan membawa kendaraan, hanya satu jiwa - sepeda motor bukan makluk hidup meski ada penjaganya.


Anda pasti bertanya, mengapa tulisan ini mengangkat judul: Berkuda, Merawat Back to Nature?


 Tentu, zaman sekarang, sepeda motor menjadi sarana yang ideal namun tidak ramah lingkungan, sedangkan berkuda adalah bentuk pemanfaatan yang akrab dengan alam, kembali ke alam, ramah alam. 

Relasinya dengan Pemimpin.


[Rombongan ini terjadi pada saat kampanye paket ASET nomor urut 1 di di Wae Lengga, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)].



Pak Andreas Agas bersama Pak Stef Jaghur (ASET) saat tengah berkampanye di Wae Lengga, Kota komba. Dirinya mengatakan, dalam berpolitik ibarat menaiki kuda, ada etika dan tata etisnya. Bila dalam berkuda membutuhkan kecakapan yang luar biasa, memahami insting kuda begitupun dalam politik praktis berhadapan dengan entitas manusia yang kompleks dari sisi tata cara berpikir dan bertindak, berpola sosial dan sebagainya. Minimal harus memahami identitas mereka. Yang diperlukan adalah sante (santun teman).  Laksana berkuda, kata dia, tidak seperti menggendarai sepeda motor karena menyatukan dua hal yang memiliki hasrat, namun jika sante dipastikan apa yang diasakan itu ternyata di kemudian hari.


Sante, demikian Pak Ande, menjadi tolok ukur kemenangan, tolok ukur kedamaian, tolok ukur terselenggaranya cita-cita bersama lebih istimewa dalam berpolitik praktis, baik oleh kandidat itu sendiri, para tim, konstituen bahkan oleh kandidat lawan. ASET sudah memegang teguh prinsip 'santun teman' alias sante. Karena sante, dipastikan semua orang akan menyukainya dan lebih lagi bersamanya selama 5 tahun membangun Manggarai Timur. Bersama ASET, kata Pak Ande, akan banyak hal yang akan dibangun.  Jangan lupa, pilih Paket ASET nomor 1 di TPS pada 27 Juni 2018. Dalam berpolitik kita lawan, dalam persaudaraan kita kawan.


Catatan: Inilah seni dari kehidupan ketika suatu acara menyertakan kuda di dalamnya.

Foto: Tiransius Kamilus Otwin Wisang.









Comments

Popular posts from this blog

RUMUS BAHASA MANGGARAI!

Mene.

Golo Lusang Lokasi View Wisata Alam Ruteng.