Hidup Itu Alinea Sejarah.

Kasihan Kita!


Pada saat kini, kita saling menyapa, saling memandang tidak hanya pada saling memandang memperhatikan paras tetapi juga memperhatikan sesuatu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut bahkan memandang ingin mengetahui 'isi inti terdalam' dari seseorang.

Ketika seorang pria lagi kasmaran pada seorang nona cantik sebaliknya demikian, mereka ingin menyelami 'isi dari inti kerinduan' dan mereka menggapainya lalu hati terasa betah dengan apa yang telah dihidangkan meski ada juga yang tersenjang dengan itu. Beberapa saat kemudian 'menjadi itu atau tidak' menyisakan pengalaman yang luar biasa apalagi itu pengalaman pertama dan sukar untuk dilupakan entahkah pahit atau manis, hambar dan asam, geli ataukah gatal. 

Seiring berjalannya waktu, itupun kemudian dinamakan sebagai kisah kasih atau kisah pilu. 

Pikiran sebagai prima autho yang digerakkan antarkarana menjadi driver utama apakah yang dipikirkan itu dilakukan atau tidak yang oleh orang kemudian menamakannya sebagai option of decision (pilihan keputusan) atau optio fundamentalis (pilihan bebas mendasar).

Benar salahnya sebuah keputusan menyebabkan Yang Kuasa turun tangan sendiri untuk mengajarkan agar berdoa 'jangan masukkan kami dalam pencobaan' yang oleh orang Kristen disebut sebagai salah satu inti dari doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Allah Yesus itu sendiri.

Ajaran doa tersebut bermaksud agar setiap orang memiliki free will yang jelas, benar, pasti dan tepat yang jauh dari terjadinya kemungkinan pencobaan. Menghindari kemungkinan pencobaan oleh orang Manggarai menyebutnya sebagai titong le dewa gong - ase ka'e weki, yang oleh Jawa Kejawen menyebutnya sebagai saudara kembar (sadulur papat) dan hal itu oleh Plato disebut sebagai roh. Dikatakan Plato, filsuf zaman old Yunani Kuno itu membagi manusia terdiri atas tubuh, jiwa dan roh. Gereja Katolik pun dalam Misa Syukur apapun senantiasa menyerukan: Tuhan bersamamu dan bersama rohmu juga! Hal itu mirip seperti ungkapan Plato.

Lalu, orang-orang pun kerap menyuarakan hidup adalah perjuangan. Aristoteles bilang segala sesuatu sudah ada hanya saja belum diketahui, belum diadakan. Rene Decartes bilang, saya berpikir maka saya ada. Itu pandangan mereka. Aristoteles memiliki kemiripan dengan pandangan orang Manggarai tentang wae de'i. Pandangan wae de'i dekat dengan hukum determinasi. Lihat pula pandangan Decartes sebenarnya merupakan ciri dari antarkarana karena inti dari kesadaran adalah berpikir yang menentukan sebuah arah pilihan. Rene lebih ke pengkonkretan dari antarkarana.

Bila hidup adalah sebuah perjuangan, maka apa makna dari perjuangan tersebut? Yah, perjuangan sebenarnya sebuah upaya untuk menghindari diri keluar dari pencobaan-pencobaan agar apa yang menjadi 'determinasi' kita mulus tanpa hambatan. Keluar dari kemungkinan-kemungkinan pencobaan oleh orang-orang setempat ditangkis dengan digelarnya pelbagai ritual.

Dibuatnya ritual adat sebagai jawaban dari prinsip cala - semoga saja bisa, yah merubah determinasi Ilahi terhadap jalan hidup seseorang, mirip dengan sinetron bersambung yang merubah alur cerita dari cerita seharusnya telah dibuat. Yah hidup tak ubahnya mirip dengan sinetron, hal mana persis seperti orang-orang bilang: Dunia ini adalah panggung sandiwara!

Hal di atas tepat seperti dikatakan Socrates: Hidup tanpa refleksi adalah mati! Yah, ritual wujud konkret dari refleksi halnya Perayaan Misa Kudus di Gereja dan penyataan ritual-ritual adat sebagai jawaban dari asa cala baeng le Mori Sambe - diharapkan Yang Kuasa menolong, merubah alur cerita nasib.

Tentu ada banyak pandangan tentang kehidupan yang hasil akhir dari semua itu oleh Penulis menyebutnya sebagai alinea-alinea sejarah. Perjalanan manusia sekarang ini adalah mengisi alinea-alinea sejarah. Dikatakan sebagai alinea sejarah karena sejarah itu sifatnya historisitas (pu'ung du wangkan, tehoon, agu dengkir len - lampau, sekarang dan masa mendatang).

Kehidupan entitas subjek masa kini bagian dari mengisi alinea sejarah ke dalam bab-babnya. Namun, buku sejarah itu cetak finish-nya sampai kapan? Karena tidak diketahui, maka Yang Kuasa lalu disebut sebagai Yang Maha Misteri yang oleh Thomas Aquinas menyebut-Nya sebagai Budi Semesta. 

1000 tahun dari sekarang atau 1 juta tahun kemudian, entitas subjek masa kini akan dipanggil sebagai wura (leluhur). Masa itu, apakah nama kita disebut nama sebagai wura oleh generasi? Yah, tentu sulit karena akan mereka sebut saja teing hang wura (memberi makan roh leluhur). Tahun 3018 misalnya, dilakukanlah semacam penelusuran ke belakang ke tahun sekarang oleh kita yang dianggap sebagai wura tadi, air mata kita akan jatuh bercucuran karena muncullah sebuah ungkapan: Aduh, seperti itu sekali hidup saya pada waktu itu! Timbullah penyesalan. Mengapa dapat menangis? Oleh orang Manggarai mengacu pada pandangan bahwa jiwa manusia hidup meski raga telah tiada dan kita sebagai wura akan datang menyantap sesajian yang diberikan generasi kita tahun 3018 itu misalnya. Yah, itulah kehidupan dan pandangan hidup orang Manggarai tentang kehidupan setelah kematian.

Pandangan dan praktek ritual orang Manggarai sebenarnya sebuah pedoman suci bagi kita sebagaimana diajarkan oleh agama, yaitu salinglah mengasihi. Wujud saling mengasihi itu konkretnya menjalankan semua aturan sesuai aturan, yah bukan aturan yang salah tetapi aturan yang benar. Aturan yang benar misalnya, memasukkan prinsip-prinsip kebenaran parsial kepada prinsip kebenaran parsial lainnya. Wujud konkret kebenaran parsial adalah salah satunya ceki (totem). Yah, memaksakan larangan bagi orang lain yang seharusnya tidak dilarang. Contohnya, dilarang memakan daging babi bagi orang lain yang bukan bagian dari ceki-nya. Hal lain, sudah mengetahui orang itu ber-ceki demikian lalu dipaksakan melakukan itu.

Demikianlah konkretisasi dari kehidupan dan banyak sekali alinea-alinea yang harus diisi yang tidak diketahui hingga kapan Yang Kuasa merampungkan buku-Nya hingga masuk pada layout, percetakan dan didistribusikan kepada konsumen para pembaca. 

Inti dari celotehan di atas meminta agar mari kita saling berdamai karena kita hanyalah pulpen Ilahi yang mengisi tulisan-Nya pada alinea-alinea bab historisitas tak pelak halnya dalam kehidupan politik praktis dan lain sebagainya.

------Refleksi ini hanya sebagai catatan kritis atas pola laku entitas sosial yang tidak mengenal bagaimana berbelah kasih tetapi menggunakan kekerasan!

Refleksi oleh: Melky Pantur***),
Minggu (24/6/2018). 

Comments

Popular posts from this blog

RUMUS BAHASA MANGGARAI!

Mene.

Golo Lusang Lokasi View Wisata Alam Ruteng.